Friday, August 7, 2009

Agus Salim dan Mr. Moh. Roem Berenang


‘Ajo, Pak Salim, naek keatas papan lontjatan (sprinkplank)….”
’Ah, soedah toea sdr. Roem.......” kata Pak Salim, sambil tersenjoem dan mengeloes-eloes djenggotnja.
Tentoe, Pak Salim tida dapet lagi melontjat seperti Esther Williams. Tapi.....pelan-pelan dia mendekati aer, dan sampai dipinggir bak, kakinja doeloe jang dimasoekan kedalem aer. Dia mao rasakan dingin atau tidak kemoedian baroe badanja.
....Diharie liboer, hari Minggoe atawa hari laennja, begitoelah pekerdjaan orang terkemuka itoe. Dan dihari itoe marika loepa kepada politiek. Besoek soedah segar kembali dan politiek dapet dilanjoetkan” ( Sunday Courier, Tahoen 1 No. 3)

Itulah sepotong percakapan H.A. Salim dan Mr. Moh Roem yang terekam oleh Sunday Courier. Salim dan Roem bukan nama asing di jagat politik Indonesia. Salim pernah menjabat sebagai menteri luar negeri pada masa kabinet Sjahrir (1946). Akhir September 1949 juru foto Sunday Courier berhasil membidikan kameranya ke arah Salim dan Roem ketika berenang mengaso di hari minggu di permandian Kaliurang Jogjakarta (Tlogo Putri?) di mana keduanya hanya memakai celana renang.
Foto itu diambil pada hari kedua saat mengadakan perundingan dengan Belanda dan UNCHI di Kaliurang. Kebetulan pada hari Minggu tidak ada perundingan. Salim dan Roem menggunakan hari itu untuk rehat politik. (Rhoma, senang rasanya menemukan foto ini kembali)

::Selengkapnya::

Tuesday, June 2, 2009

Perempuan Penjaga Api


Dian=lampu tradisonal dari Jawa

Hari 1: Perempuan berkebaya, terjaga sepanjang malam, menjaga nyala dian. Apinya tidak boleh padam....apinya tak boleh padam, tekadnya. Api adalah lambang kehidupan.

Hari ke 2 : Perempuan ini tetap saja menjaga dian..njalanya tak meredup tapi tetap saja ia menjagannya. Dengan tubuh yang renta di usianya yang menjelang 50 tahun ia tetap terlihat menarik dan menawan. Guratan di wajahnya seperti lukisan alam.

Hari ke3: Perempuan itu tetap menjaga dian. Sanggulan rambutnya masih rapi. Matanya masih saja mengarah pada dian itu. Dia pergi ..dan masuk lagi dengan sepincuk bungan mawar merah dan putih. Bunga itu ia letakan dipinggir dian.

Hari ke 4: Perempuan itu menatap dian. Mata tak bulat, kecil dengan sepasang alis yang tebal ...mata seperti ini hanyalah milik perempuan Jawa. Ia menerawang, penuh kecemasan. Tapi ada harapan di sana, harapan sebuah kehidupan.

Hari ke 5: Perempuan itu masih saja duduk bersimpuh menatap nyala api dian. Ketika nyala apinya meredup cepat-cepat tangan-nya menerungkup nyala api agar tidak megecil. Dia berkomat-kamit seperti mengeluarkan mantra ketika api itu mengecil. Wajahnya memerah...ia terus berkomat kamit.

Hari ke 6: Wajah cantiknya, ia adalah tipikal face Jawa. Perempuan Solo nan anggun, namun penuh karakter. Wajahnya menyiratkan banyak kehilangan dalam hidup..tapi nampaknya ia tetap saja nrimo seperti perempuan-perempuan Jawa lainnya. Kali ini masih saja ia menunggui dian itu.

Hari ke 7: Dian itu masih menyala. Perempuan lain masuk membawakan apem, bunga mawar dan kantil lengkap dengan kemenyan. Ia berikan kepada perempuan yang masih duduk di dekat dian itu.

Hari ke 8: Api dian itu memantul-mantul bandul kalung yang melingkar di leher perempuan itu. Gelang emasnya, dan cicin yang melingkar di jari-jarinya berkilau-kilau dengan pantulan api dian itu. Jelas ia bukan dari golongan rendahan. Ia bangsawan atau orang yang cukup berada.

Hari ke 9: Perempuan penjaga dian itu adalah bekas penggurus Poetri Indonesia Opgericht Bondowoso. Keteguhannya dalam berorganisasi seteguh ia menjaga nyala dian itu.

Hari ke 10: Ia bersimpuh di depan dian. Perempuan itu berbisik ”Tidak boleh berakhir”.

Hari ke 11: Tahun 1927 silam ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dan dian itu adalah kehidupan sang bayi.

Hari ke 12: Perempuan ini menyusui bayinya hingga tumbuh. Sekira 3 tahun kemudian ia kirimkan anak ilaki-lakinya ke luar kota untuk belajar banyak hal.

Hari ke 13: Anak laki-lakinya itu adalah segala-galanya bagi perempuan itu.

Hari ke 14: Rumah bertingkat tiga, dekat sungai dengan ruang bawah tanah tempat berkumpul orang-orang membicara perlawanan, feodalisme, tuan tanah dan kaum penjajah. Anak itu tumbuh bersama kakeknya.

Hari 15: Pergerakan kaum merah 1926 membawa ayah anak itu diciduk kemudian, bernasip naas masuk ke gerbong maut.

Hari 16, 17, 18, 19, 20: Perempuan itu terus ada menjaga nyala dian. Tidak ada letih dan lelah.

Hari 21, 22, 23, 24, 25,26,27,28: Perempuan itu tetap menjaga nyala dian itu.Ia tidak menangis, tertidur dan terjaga disamping dian itu.

Hari ke 29: Nyala api tetap terjaga....bahkan apinya kian membesar. Matanya bebinar. Karena harapannya adalah kehidupan bagi si anak.

Hari ke 30: Apinya tak padam...bibir perempuan itu tersungging..ia tersenyum puas. Ia berkata lirih: ’Anakku Njoto tidak mati..dia hidup dan tak mati”. Perempuan itu tidak sadar, di luar sana anaknya telah hilang tak tahu rimbanya....api dalam dian itu adalah ideologinya yang tetap hidup. Perempuan itu berdiri meninggalkan api dalam dian yang terus menyala. Di akhir tahun 1965.(Rhoma, catatan sebelum tidur)

::Selengkapnya::

Thursday, January 1, 2009

Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa


Judul Buku: Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa
Supervisi: Taufik Rahzen
Koordinator Riset dan Penulisan: Muhidin M Dahlan
Periset: Agung Dwi Hartanto, Arahman Topan Ali, Argus Firmansah, Dian Andika Winda, Iswara N Raditya, Mahtisa Iswari, M Yuanda Zara, Petrik Matanasi, Reni Nuryanti, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Sunarno, Tunggul Tauladan
Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008
Tebal: 1184 halaman (edisi hitam putih)
Ukuran: 15x24 cm (hardcover)

Karena hanya cetak terbatas, maka penerbit hanya menerima pesanan. Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)



CUPLIKAN PENGANTAR

Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.

Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express.

Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin.

Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.

Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.

Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”

Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.

Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.

Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung.

Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.

Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.

Kelima alasan itulah kemudian mengukuhkan bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru.

Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.

Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo.

Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.



BUKU INI DITERBITKAN sebagai sebuah penghargaan atas kerja Tirto Adhi Soerjo yang mangkat dengan tragis pada 7 Desember 1918. Dikerjakan siang malam oleh sembilan sejarawan muda (partikelir) di bawah usia 25 tahun selama dua tahun.

Sebagai sebuah perayaan tradisi pers Indonesia, buku ini menuliskan kembali 365 mini-biografi pers Indonesia. Bukan hanya cetak, tapi juga elektronik, bahkan tradisi pers di internet. Diriset dari pers yang terbit di hampir seluruh daerah, pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda), dan seluruh kurun (1907-2007—bahkan sampai merentang lebih jauh pada 1744).

Sekaligus buku ini menandai sebuah maklumat bahwa 7 Desember adalah tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya.


DAFTAR PERS INDONESIA YANG DIRISET

MEDAN PRIJAJI
Koran Pertama Penyuluh Kebangsaan ~ 1

BATAVIASE NOUVELLES
Yang Pertama yang Dibreidel ~ 5

SELOMPRET MELAJOE
Terompet Bisnis Kaoem Pedagang ~ 8

TJAHAJA SIJANG
Dari Penginjil ke Sekuler Progresif ~ 11

PEMBRITA BETAWI
Terbit di Ujung Abad ~ 14

PERTJA BARAT
Satire untuk Padang ~ 17

BINTANG BATAVIA
Koran Putih untuk Rakyat Hindia Belanda ~ 20

RETNODHOEMILAH
Sepoetjoek Soerat Boeat Pembatja ~ 23

PEWARTA BORNEO
Internasionalisme Borneo ~ 26

BINTANG HINDIA
Bangsa Osoelan dan Piekieran ~ 29

PERNIAGAAN
Berdagang Politik ~ 32

SOENDA BERITA
Dari Tjianjur Mengasah Ketajaman Pena ~ 35

SINAR ATJEH
Si Putih Manis dari Ujung Barat ~ 39

SOELOEH KEADILAN
Adik Kandung Mas Medan ~ 43

TJAHAJA TIMOER
Terbit di Antara Kaum Pembatik ~ 46

POETRI HINDIA
Kekasih Cantik dan Alus Mas Medan ~ 49

DJAWI HISWARA
Martodharsono dan Geger Surakarta ~ 53

PANTJARAN WARTA
Anak Hindia Soedah Berapi ~ 57

PEWARTA DELI
Hulu Bagi Jurnalis-Jurnalis Tangguh ~ 60

SINPO
The Bodyguard from Batavia ~ 63

AL-MOENIR
Saudara Mudanya al-Manar ~ 66

MEDAN GOEROE HINDIA
Hak Sekolah untuk Semua ~ 70

OETOESAN MELAJOE
Koran Utusan Kaum Adat ~ 73

TJAJA HINDIA
Nasionalisme Bangsa (Basa) Indonesia ~ 77

DE EXPRES
Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier!!! ~ 80

OETOESAN HINDIA
Hidup Mati untuk Sarekat Islam ~ 83

SAROTOMO
Koran Kritis Dituduh Rasis ~ 87

SOENTING MELAJOE
Disini, Nama Roehana Koeddoes Terpahat ~ 91

SAUDARA HINDIA
Berbagi Ilmu di Majalah ~ 94

BINTANG TIONGHOA
Ada Sawo Matang di Koran Kuning ~ 97

DOENIA BERGERAK
Koran Pamflet untuk Aktivis Berkepala Batu ~ 101

POETRI MARDIKA
Si Gadis Intelek Boedi Oetomo ~ 104

SELOMPRET HINDIA
Tereaklah! ~ 107

BINTANG MATARAM
Gelitik-Menggelitik di Pojok Halaman ~ 110

MEDAN BOEDIMAN
Pandai dan Terampil untuk Karaharjan Negeri ~ 114

MEDAN MOESLIMIN
Hidoep Kaoem Moeslimin Sedoenia ~ 117

SOEARA MOEHAMMADIJAH
Hampir Seabad Bernapas di Bawah Matahari ~ 120

BENIH MARDEKA
Karena Critic itu Menghibur, Toean! ~ 124

HINDIA MOEDA
Visi Perubahan di Lampung ~ 127

IEN PO
Koran dengan Strategi Pemasaran Kreatif ~ 130

NERATJA
Didik Nasionalisme Lewat Jalan Pendidikan ~ 134

SINAR DJAWA
Antara SI, Semaoen, dan Radikalisme Pers ~ 138

BARGA WASTRA
Ksatria Manggis dari Cirebon ~ 142

JONG SUMATRA
Tiada Bahasa, Hilanglah Bangsa ~ 145

PEREMPOEAN BERGERAK
Dari Deli untuk Kesetaraan ~ 148

PERSATOEAN HINDIA
‘De Expres Jilid II ~ 152

SINAR PASOENDAN
Duta Rakyat Pasundan untuk SI Semarang ~ 155

TERADJOE
Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 158

BOEDI OETOMO
Satrija Djawa Sedjati ~ 161

KENG PO
Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 164

JONG JAVA
Dari Jawa untuk Tanah Air ~ 168

MASA BAROE
Ratu Adil dari Bandoeng ~ 172

PEMIMPIN
Jurnalisme Berkelahi yang Berakhir di Bui ~ 175

BENIH PENGETAHOEAN
Dari Kabar Pertukangan Hingga Pergerakan ~ 178

DOENIA BAROE
Konang-konang dalam Benderang Kapitaal ~ 181

MATAHARI
Berkobar-kobar Mendjilat ka Kiri ~ 185

PEMBERITA INDIA
Pengingat yang Diabaikan ~ 188

PERSATOEAN
Nasionalisme Turki untuk Penduduk Hindia ~ 191

BANDERA ISLAM
Patok-patok Merukunkan Islam ~ 194

FADJAR ASIA
Lebih Dekat dengan Tojkro, Salim, dan Wirjo ~ 197

HALILINTAR
Pontianak Diguntjang ‘Petir’ ~ 201

KEMADJOEAN HINDIA
Lahir Setelah Oetoesan Hindia Wassalam ~ 204

OETEOSAN RA’IAT
Dari Dakwah Mimbar ke Dakwah Koran ~ 208

PAHLAWAN
Juru Damai, Redakan Tikai ~ 211

RA’JAT BERGERAK
Misbach Ditangkap dan Medja Redactie Tergontjang!!! ~215

SARASO SAMALOE
Satu Rasa Minang-Pariaman ~ 218

SIN JIT PO
Di Sini si Fjamboek Berduri Pernah Jadi Redacteur ~ 221

SIPATAHOENAN
Nasionalisme Dari Paguyuban Sunda ~ 224

WARTA TIMOER
“Spion” Pembela Kaum Lemah ~ 227

BINTANG BORNEO
Manisfest Nasionalisten op Borneo ~ 230

BOEMIPOETERA
Sang Penakluk Malaise ~ 233

INDONESIA MERDEKA
Seruan Merdeka dari Perhimpunan Indonesia ~ 236

KAOEM KITA
PKI Menipu Sarekat Islam ~ 240

PELITA ANDALAS
Cahaya Terang Tionghoa-Bumiputera ~ 243

SOEARA HINDIA
Dari Dagang hingga Perempuan ~ 246

BERANI
Barang Siapa Jang Bentji Pada Kita ialah Moesoeh Kita! ~ 249

CHABAR MINGGOEAN
Ada yang Menggigit di Feuileton ~ 252

DJAWA TENGAH REVIEW
Jurnal Berita yang Tak Bias dan Biasa ~ 255

DOENIA BAROE
Semesta Tionghoa untuk Indonesia ~ 258

FIKIRAN
Penyambung Lidah Rakyat Minahasa ~ 261

HINDIA BAROE
Iklan Menjepit Haji Agus Salim ~ 264

NJALA
Ra’jat Mengadoe Didjawab dengan Kelewang ~ 267

PENJOELOEH
Memojokkan Polisi Kolonial Dapat Teguran Bestuur ~ 270

PERSATOEAN RA’JAT
Kaoem Miskin dari Segala Bangsa dan Agama Bersatoelah ~ 273

SWARA PUBLIEK
“Doesta” yang Bilang Pers Peranakan Ta’ Nasionalist ~ 276

TEMPO
Sebarisan Penganjur Dari Koran Jogja ~ 280

TJAHJA PALEMBANG
Menerangi Kebusukan ~ 284

BINTANG TIMOER
Yang Membujur lalu yang Melintang Patah ~ 287

HAN PO
Jadikanlah Kami Indonesiamu Juga ~ 290

PEMBERITA
Berayun Bersama Perlawanan Merah ‘26 ~ 294

PERSAUDARA’AN
Pemantik Semangat Kemajuan Rakyat ~ 297

PERTJA SELATAN
Bangoenlah Wong Palembang! ~ 300

SINAR BORNEO
Jurnalisme Scolastik dari Pontianak ~ 303

SINAR INDONESIA
Hakim Bagi Musuh Kaum Proletar ~ 306

SOEARA BORNEO
Kabar dari Negeri Mandau ~ 309

SOEARA MOERID
Penegak Surau di Padang Pandjang ~ 312

SOEARA TAMAN SISWA
Pejuang Pendidikan Bangsa Indonesia ~ 315

SOELING HINDIA
Mengaloen Oentoek Indonesia Raja ~ 318

SOELOEH INDONESIA
Jurnal Politik Kaum Cerdik Cendekia ~ 321

TJAHAJA DJOMBANG
Setitik Api dari Djombang ~ 325

BOEMI MELAJOE
Dari Selatan Pulau Perca Mengeja Indonesia ~ 328

MIMBAR CELEBES
Pergerakan dan Kritik Budaya ~ 331

MATAHARI INDONESIA
Iwa Pun Dikurung di Belakang Matahari ~ 334

PELITA BANGKA
Surat Kabar Pertama di Bangka ~ 338

PERSATOEAN INDONESIA
Pekik Nasionalisme Soekarno ~ 341

PEWARTA MADIOEN
Dulu Sekedar Reclame Sekarang Moweat Segala Brita ~ 344

SOEARA KITA
Banggalah Berbahasa Indonesia ~ 347

ISTERI
Utusan Perikatan Perempoean Indonesia ~ 351

ISTRI MERDIKA
Memori Masa Lalu dan Cermin Kini ~ 354

PEWARTA MENADO
Seruan dari Utara Celebes ~ 357

SIN TIT PO
Persemaian Jiwa Indonesia ~ 360

SINAR DELI
Dalam Arus Besar Pergerakan ~ 363

SINAR LAOETAN
Jalan Belakang Menuju Kebebasan ~ 366

SOEARA TIMOER
Berjuang untuk Ibu Timur ~ 369

FADJAR INDONESIA
Reportase Perbudakan Kolonial di Mandar ~ 372

PERGERAKAN
Pembela Peranakan di Belakang Tembok ~ 375

SEDAR
Penentang Keras Poligami ~ 378

INDONESIA MOEDA
Yang Muda, yang Berkarya ~ 382

SOEARA KAOEM
Agoes Salim dan Persatuan Kaum Muda ~ 385

RA’JAT
Si Pedagog dari Madura ~ 388

BARISAN KITA
Di Mangkasar Matahari Molai Bertjahaja ~ 391

DAULAT RA’JAT
Mengembalikan Pergerakan ke Jalur Pemikiran ~ 394

LENTERA
Kaoem Iboe Wadjib Tempoer ~ 398

AKSI
Apa Tuan Seorang Nasionalist ~ 401

MEDAN RA’JAT
Koran Islam Semua Paham ~ 405

OETOESAN INDONESIA
Dari Kiri ke Nasionalis ~ 408

SOEARA MERDEKA
Ketika Gerakan Pemuda dan Pemudi Sama Pentingnya ~ 412

SOEARA OEMOEM
Dari ‘Studie Club’ ke ‘Parindra’ ~ 416

SOELOEH KAOEM MOEDA
Sajian Untuk Kaum yang Dilarang Berhutang ~ 419

SURYA
Sekutu Soekarno dari Andalas ~ 422

API RA’JAT
Api juang berkubar-kubar dalam Tungku ~ 425

ASIA BAROE
Naga di Bumi Pasundan ~ 428

BANTENG
Jago Tarung dari Partindo ~ 431

FIKIRAN RA’JAT
Kaoem Marhaen, Inilah Madjalah Kamoe! ~ 434

MENJALA
Organ PNI Sembunyi Tangan ~ 437

SENDJATA RA’JAT
Penyokong Pergerakan yang Radikal ~ 440

ADIL
Menuntun Umat, Mengawal Lahirnya Reformasi ~ 443

PENJEBAR SEMANGAT
Untuk Bangsa Kita Kaum Kromo ~ 447

PEMANDANGAN
Mozaik Nasionalist Indonesia ~ 450

POEDJANGGA BAROE
Pandu Kebudayaan Indonesia ~ 454

WARTA KEMADJOEAN
Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 457

MINAHASSA POST
Bukan (Lagi) Kroni Kolonial ~ 460

OETOESAN
Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 463

SINAR SUMATRA
Ketika Melayu Ingin Modern ~ 466

SOELAWESI
Nyemprot, tapi bukan Propaganda ~ 469

TABOEH
Nasionalisme dari Negeri Asing ~ 472

ISTERI INDONESIA
Kami Hanya Perkumpulan Sosial ~ 475

PENJEDAR
Penyadar di Kala Tak Sadar ~ 478

SOEARA PARINDRA
Gaung Bergabung Menuju Persatuan ~ 481

TJAJA BOGOR
“Obat Kuat” Buat Bogor ~ 484

NATIONALE COMMENTAREN
Trengginasnya Orang Manado! ~ 487

PENOENTOEN PIKIRAN
Memperjuangkan Borneo ~ 490

PEWARTA OEMOEM
Mengenalkan Pemimpin dan Bangsa Lewat Pidato ~ 493

SEPAKAT
Penjajahan, Perang, dan Kesadaran ~ 496

SEROEAN
Gorontalo Minta Diperhatikan ~ 499

SINAR BAROE
Juru Bicara Saudara Tua ~ 502

DJAWA BAROE
Kumpulkanlah Biji Jarak ~ 505

PESAT
Santun Dalam Kata, Bijak Dalam Berita ~ 509

REPOEBLIK
Suplemen Nasionalisme dalam Berita Perang ~ 512

BERITA INDONESIA
Koran Propaganda Kemerdekaan ~ 515

BINTANG MERAH
Dengan Jurnal Kembali ke Atas Panggung ~ 518

DJAJABAJA
Mulut Jawa Prabu Karno ~ 521

KEDAULATAN RAKJAT
Saksi Jatuh Bangunnya Pemerintahan Indonesia ~ 524

MERAH POETIH
Pentingnya Uang Bagi Negara Merdeka ~ 528

RRI
Sekali di Udara, Tetap di Udara ~ 531

MERDEKA
Barisan Pembela Soekarnoisme yang Dihempas Soekarno ~ 534

HIDUP
Dari Katolik untuk Indonesia ~ 537

PANDJI RA’JAT
Koran Gratis untuk Indonesia ~ 541

PEMBANGOEN
Njalakan Api Persaoedaraan Bangsa-Bangsa ~ 544

SUARA MASJARAKAT
Penerang dari Malang ~ 547

SOEARA MERDEKA
Siapa Pengkhianat, Siapa Pembela Revolusi ~ 550

SOELOEH MERDEKA
Seiya Sekata, Sahabat Sejati Republiken ~ 553

BAKTI
Ksatria Baret dalam Berita ~ 556

BERNAS
Koran untuk Kota Pendidikan ~ 559

GELOMBANG ZAMAN
Penggiring Badai Revolusi ~ 562

GELORA RAKJAT
Nasionalisme dalam Lembaran Koran ~ 566

GEMA MASSA
Kesetiaan yang Pahit ~ 569

MASJARAKAT BAROE
Geliat Damai Staat van Beleg ~ 572

NUSANTARA
“Harian Got dan Fasis” ~ 575

PELITA RAKJAT
Suratkabar Berhaluan Nasionalis ~ 578

BINTANG INDONESIA
Lentur Mewartakan Perekonomian ~ 581

MIMBAR UMUM
Koran Medan, Berita Jakarta ~ 584

MINGGU PAGI
Dua Jilid Perlawanan Seniman Malioboro ~ 587

PEDOMAN RAKJAT
Penghadang Jalan Kudeta ~ 590

PENABOER
Dari Jakarta Menabur Kasih ~ 593

PENINDJAU
Kecak-kecak Warna Politik ~ 596

PENOENTOEN PERDJOEANGAN
Dari Bukitinggi Menyusun Strategi ~ 599

SIASAT
“Jalan Puisi” dalam (Berita) Politik Indonesia ~ 603

TROMPET MASJARAKAT
Tiada Hari Tanpa Meja Hijau ~ 607

WAKTOE
Enak Dibaca dan Penting ~ 610

WARTA EKONOMI
Mencari Format Ekonomi yang Berkeindonesiaan ~ 613

WASPADA
Di Bawah Bayang-Bayang ‘Sang Godfather’ ~ 616

GEMA SUASANA
Eksodus Sastra Kritik ~ 619

KESATUAN INDONESIA
Sadar Satu Sebangsa ~ 622

HIKMAH
Karena Komunis Harus Ditendang! ~ 625

MESTIKA
Media Intrik Nir Partai ~ 629

PEDOMAN
Presiden Soeharto: “Pedoman...Pateni wae...” ~ 632

PERDAMAIAN
‘Proces Sedjarah’ Sebagai Tonggak Ingatan ~ 635

SIKAP
Diplomasi Kuat Bangsa Berdaulat ~ 639

SUARA INDONESIA
Keseimbangan Informasi dan Hiburan ~ 642

SUMBER
Kesatuan Indonesia Sebagai Harga Mati ~ 645

WARTA INDONESIA
Keteguhan dalam Pergolakan ~ 648

ABAD BARU
‘Pudjangga Baru’ van Medan ~ 652

DUNIA EKONOMI
Menyapa Kaum Papa Lewat Media ~ 655

HARIAN UMUM
‘Pak Pentol’ dan Benteng Kewarasan ~ 659

INDONESIA RAYA
Berkali-kali Dibredel Baru Mati ~ 662

DJAWA POST
Sebuah Anomali Pers Melayu Tionghoa ~ 666

MEKAR
Tetap Setia pada Bu Fat ~ 670

SUNDAY COURIER
Rupa-Rupa Politik di Hari Minggu ~ 673

TANAH AIR
Mengabdi dengan Setia Kepada Tanah Air ~ 676

ABADI
Hidupnya tak Seabadi Namanya ~ 679

PENGHARAPAN
Hikayat Sepotong Kisah Korupsi ~ 683

RAKJAT BERDJOANG
Daerah Berontak, Siapa Dalang? ~ 686

SUARA MERDEKA
Koran Daerah Bernapas Nasional ~ 689

UTUSAN INDONESIA
Tahu Menghargai Pahlawan ~ 692

BASIS
Jurnalisme Seribu Mata ~ 695

HARIAN RAKJAT
Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit ~ 699

IPPHOS
Sejarah dalam Selembar Foto ~ 703

KOMPAS
Nugroho Notosusanto Berhasrat

Memperdalam Keinsafan ~ 706
MARHAEN

Si Penyambung Lidah Karno di Makassar ~ 709
MINGGUAN HARAPAN

Bedil Berpeluru Civic Mission ~ 712
PEMUDA

Kenapa Mesti Mesti Menyembah Pada Angkatan Tua ~ 715
PUTERA SAMUDERA

Para Penjaga Laut ~ 718
STAR WEEKLY

Di Satu Putaran Jalan Hidup PK Ojong ~ 721
TEGAS

Tanah Rencong Menuntut “Kemerdekaan Kolonial” ~ 724
MIMBAR INDONESIA

Secangkir Kopi dan Berita Hangat di Sore Hari ~ 727
OLAHRAGA

Pengabar Krida Negara ~ 730
INDONESIA

Dari Idrus Hingga Armijn Pane ~ 733
SULUH INDONESIA

Karena Buku Belajar Memahami Soekarnoisme ~ 736
SURABAYA POST

Terbit Sore dengan Jurnalisme Putih ~ 739
DUTA MASJARAKAT

Bintang Sembilan di Tengah Prahara’ 59 ~ 742
WARTA BANDUNG

Bersama Belok Kiri ~ 745

MINGGUAN SADAR
Media Hiburan Melek Politik ~ 748

PROKLAMASI
Soekarno Kawin Lagi ~ 751

REPUBLIK
Djelek-djelek Tetap Djakarta Kite ~ 754

BUSINESS NEWS
Setia Memediasi Kebijakan Ekomomi ~ 757

SI KUNTJUNG
Legenda Majalah Anak ~ 760

IBU
Bukan “Perempuan”, Tapi “Wanita” ~ 763

PELOPOR
Kabar Buruk Buat Bung Karno ~ 766

REPUBLIK
Res Publica di Kota Atlas ~ 769

SKETSMASA
Dengan Berita Mencerdaskan Bangsa ~ 772

POS INDONESIA
Banyak Cara Berkelit dari Jeratan Delict ~ 775

SELECTA
Diberangus Hanya Karena Mengatai Soeharto Bukan Anak Petani ~ 778

WARTA
Ibu Maju, Bangsa Maju ~ 782

PANDJI MASYARAKAT
Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis ~ 785

DUTA PANTJASILA
Algojo Pengikis Separatis ~ 788

SASTRA
Kiri Kanan Jadi Lawan ~ 791

SINAR HARAPAN
Harga Sebuah Keberanian ~ 794

TVRI
Si Pionir yang Terengah di Pasar Siar ~ 797

BAHTERA AMPERA
Di Laut (Kapan) Kita Jaya ~ 800

INDEPENDENT TJENDRAWASIH
Menulis Irian Barat dari Jakarta ~ 803

INTISARI
Yang ‘Seksi’ yang ‘Berdisi’ ~ 806

ANGKATAN BERSENDJATA
Di Bawah Lindungan Para Jendral ~ 809

BALI POST
Dari “Pengemban Pancasila” hingga “Matahari dari Bali” ~ 812

BERDIKARI
Di Tengah Kurun Pembersihan PKI ~ 815

BERITA YUDHA
Lolos Dari Surat Keputusan ~ 818

DWIKORA
Gagal Memediasi Bung Karno dan Rakyat ~ 821

KOMPAS
Jurnalisme Anggun Dari Palmerah ~ 824

NUSA PUTERA
Yang Selamat dari Badai ~ 828

WARTA BERITA ANTARA
Lumbung Informasi, Terbit Pagi-Sore ~ 831

API ISLAM
Berwajah Islam, Berotak Pancasila ~ 835

GALA
Jitu Mengail Pengiklan ~ 838

HARIAN KAMI
Amarah dari Sebuah Angkatan ~ 841

HORISON
Di tengah Sengkarut Langit Sastra Indonesia ~ 844

KARTIKA
Pasukan Pengawal Orde Baru di Jawa Tengah ~ 847

MASA KINI
Di Kota Pelajar Membangun dan Mendidik ~ 850

MERTJU SUAR
Matahari Pagi di Jogjakarta ~ 853

PELOPOR BARU
Requiem Senja di Koran Sore ~ 856

PIKIRAN RAKYAT
Raja Koran di Tatar Pasundan ~ 859

PELOPOR JOGJA
Dua Era Membela Pancasila ~ 862

NUSA TENGGARA
Melihat Nusa Dari Cara Pandang Tenggara ~ 865

AKTUIL
Yang Kreatif yang Laris ~ 868

OPINI INDONESIA
Tukang Minyak Jualan Koran ~ 871

D&R
Ada Detektif di Pers ~ 874

ELSHINTA
“News and Talk” 24 jam Non Stop ~ 877

REVOLUSIONER
Jangan Main-main dengan Baju Loreng ~ 880

SINGGALANG
‘Jurus 4 Pendekar’ ~ 883

EKSPRES
Yang Kritis yang Dilindas ~ 886

TRUBUS
Membangun Indonesia Berswadaya ~ 889

MEDIA INDONESIA
Koran dengan Editorial yang “Galak” ~ 892

MIMBAR MASYARAKAT
Saksi Bisu Matinya Pers Indonesia ~ 895

POS KOTA
Bertarung dalam Isu-isu Urban ~ 898

SINAR INDONESIA BARU
Ramuan Sang Tabib ~ 901

KENDARI POS
Awalnya Koran Beringin ~ 905

BANJARMASIN POST
Membelah Arus Kapuas ~ 908

BERITA BUANA
Memulai Hari di Siang Bolong ~ 911

NYATA
Lebih dari Sekadar Hiburan bagi Wanita ~ 915

PRISMA
Rumah Kelahiran Cendekiawan Eksos ~ 918

SUARA KARYA
Bunyi Bising dari Balik Beringin ~ 921

TEMPO
Dari Berita ke Cerita ~ 924

FEMINA
Ratu Majalah Wanita Indonesia ~ 929

KARTINI
Pernah Seatap dengan Madonna ~ 932

MONITOR
Arswendo dan Sang Nabi di Tabloid Iher ~ 935

TOPIK
Kalem dalam Tutur Kata, Objektif dalam Berita ~ 938

DIAN
Membangun Manusia Pembangun ~ 941

HARIAN DUTA
Corong Orba di Pucuk Rencong ~ 944

LAMPUNG POST
Lampung, Pers, dan Kepercayaan ~ 947

PELITA
Bintang yang Berkali-kali Terbentur Dinding ~ 951

JAKARTA JAKARTA
Jurnalisme Sastra Fotografi ~ 954

FAJAR
Menjadi Matahari di Kota Angin Mamiri ~ 957

JAWA POS
Menanam Radar di Setiap Kota ~ 960

SARINAH
Pesona yang Tak Lekang ~ 963

THE JAKARTA POS
Dipersembahkan untuk Pembaca (Berbahasa) Asing ~ 966

BOLA
Nasionalisme di Lapangan Hijau ~ 969

BISNIS INDONESIA
Dari Bekas Bengkes Hingga Wisma ~ 972

SABILI
Mujahid Tahan Kritik ~ 975

JAMBI INDEPENDENT
Dari Satu Kantor ke Kantor Lainnya ~ 978

INFO KOMPUTER
Swalayan Maya di Musim Digital ~ 981

PONTIANAK POST
Tonggak dan Tombak Rakyat Kalimantan Barat ~ 984

PRIORITAS
Mati Dini Si Bayi Ajaib Dari Gondangdia ~ 987

HARIAN SURYA
Kala Seniman Berebut Surat Keputusan Penguasa ~ 990

WAWASAN
Koran Sore dengan Gaya Blak-blakan ~ 993

EDITOR
Membangun Indonesia dengan Kritik ~ 996

MANADO POST
Lahir dari “Baku Belante” ~ 1000

SRIWIJAYA POST
Untuk Wong Kito di Bumi Sriwijaya ~ 1003

RCTI
Televisi Pertama Swasta Indonesia ~ 1007

SUARA PEMBARUAN
Sepotong Hikayat si Pemain Pengganti ~ 1010

KALTIM POST
Dari Oost Borneo untuk Indonesia Timur ~ 1013

NOVA
Inspirasi Wanita Indonesia ~ 1016

SERAMBI INDONESIA
Bertahan dari Pelbagai Hempasan ~ 1019

WARTA EKONOMI
Memikat dan Mengikat dengan Peringkat ~ 1023

YOGYA POST
Yogya dan Kopi Sore Ala Emha ~ 1027

FORUM KEADILAN
Membincangkan Delik dan Perkara ~ 1030

ULUMUL QUR’AN
Cendekiawan Muslim Menjawab Tantangan Zaman ~ 1033

RIAU POS
Mengembalikan Kejayaan Raja Ali Haji ~ 1037

TRIJAYA
Mengudara Lebih Dari Sekadar Musik ~ 1040

POS KUPANG
Oase di Padang Gersang ~ 1043

ANTV
Lima Jam Lalu Jadi Bintang ~ 1046

DETIK
Kami Akan Tetap Berpikir Merdeka ~ 1049

CENDRAWASIH POS
Obor di Rimba Gelap Papua ~ 1052

KALTENG POS
Di Antara Rimba dan Sungai ~ 1055

REPUBLIKA
Harian Islam Generasi Ketiga ~ 1058

GATRA
Lahir dari Geger Breidel ~ 1061

KALAM
Menolak Keseragaman Kebudayaan ~ 1064

SCTV
(Dari) Satu untuk Semua ~ 1068

INDOSIAR
Awalnya Menjanjikan ~ 1072

PERSPEKTIF
Masa Depan Blog Pada Isinya ~ 1075

KONTAN
Menyuarakan Kemandirian ~ 1078

JURNAL PEREMPUAN
Dari Jurnal ke LSM Profesional ~ 1081

SOLOPOS
Koran Muda di Kuburan Pers ~ 1085

MALANG POST
Ikon di Kandang “Singo Edan” ~ 1088

DETIK.COM
Karena Waktu Jantung Informasi ~ 1091

CEK & RICEK
Baca Gosip atau Fakta ~ 1094

AMBON EKSPRES
Untuk yang Mencintai dan Menjaga Ambon ~ 1097

FLORES POS
Bertahan tanpa Naungan Konglomerasi ~ 1100

PADANG EKSPRES
Membangun Pers Lokal ~ 1103

KBR 68H
Mengudara dari Sabang sampai Merauke ~ 1106

PANTAU
Empat Format dan Sembilan Elemen Jurnalisme ~ 1110

RAKYAT MERDEKA
Kembalinya “Jurnalisme Mimbar” ~ 1113

METRO TV
Barometer Berita Tanpa Jeda ~ 1116

GAUNG NTB
Maju Terus Berkata Benar ~ 1120

LAMPU MERAH
Dari Judul Ketahuan Isi ~ 1123

TRANS TV
Ini Tentang Televisi dan Bakso ~ 1126

KORAN TEMPO
Pelopor Trend Baru Koran Kompak ~ 1129

ATVLI
Dari Aceh Sampai Papua Berjajar Layar Kaca ~ 1132

PULSA
Lembar Ragam Telepon Genggam ~ 1136

TOPSKOR
Mengolah Raga Sepanjang Kala ~ 1139

SEPUTAR INDONESIA
Datang Pagi Datang Sore ~ 1142

PANYINGKUL
Jurnalisme Warga dari Makassar ~ 1145

JURNAL NASIONAL
Mediasi Publik-Republik ~ 1148

::Selengkapnya::

Wednesday, December 31, 2008

Seabad Pers Perempuan 1908-2008

"Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.” Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah,ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubenur Jenderal, pastilah setiap hari dia akan makan enak.” (Raden Ayu Siti Soendari, jurnalis Poetri Hindia)

Buku ini adalah dokumentasi seabad perjalanan pers perempuan di Indonesia. Tarikh ini dihitung dari lahirnya Poetri Hindia yang terbit pertama kali pada 1 Juli 1908. Suratkabar yang didirikan Tirto Adhi Soerjo ini menjadi laboratorium sosial bagi lahirnya jurnalis-jurnalis perempuan generasi awal.

Dari biografi seratus pers perempuan inilah kita bisa menimbang kembali pelbagai anggapan lemahnya posisi tawar maupun peran strategis perempuan dalam dunia pers.

Catatan biografi pers perempuan ini menunjukan bahwa dalam kurun waktu yang demikian panjang—dari pembentukan sampai menjadi Indonesia—perempuan memainkan peran, mengambil posisi, dan bertindak di gelanggang politik, ekonomi, pendidikan, dan membangun barikade pertahanan keluarga.

Sebagai wujud dari keterlibatan semua momentum itu, buku ini dikerjakan segelitir perempuan muda dengan cara didaktik dan kronikal, merekam biografi pers-pers perempuan Indonesia dari masa ke masa (1908-2008); dari belpagai daerah, pelbagai organisasi, dan dari pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda Melayu, Arab, dan Belanda) yang mewarnai perjalanan sejarah pers Indonesia.

Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)

Judul: Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri, et. al.
Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008
Tebal: 406 hlm
Ukuran: 15x24 cm
Harga: Rp 300.000 (hardcover dan hanya dicetak terbatas)
Disc: 20%


::Selengkapnya::

Tuesday, December 30, 2008

Merayakan Tahun Baru Pesta Warisan Kolonial Belanda: Merayakan Bintang di Fort De Kock


Sekali dalam satu tahun. Pergantian tahun, selalu dirayakan dengan cara yang berbeda. Banyak yang terlewati dalam satu tahun ini. Dua tahun yang lalu saya lewati pergantian tahun dengan merampungkan skripsi, satu tahun yang lalu saya lewati tahun baru dengan tidur lelap, dan tahun ini akan saya lewati dengan berkumpul bersama keluarga & makan durian buah kesukaan kami. Pergantian tahun, selalu dimaknai dan dirayakan dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang merayakan dengan hinggar binggar panggung hiburan. Pesta kembang api nan meriah, suara terompet, berkumpul di pusat-pusat kota, berkeliling kota, pergi keluar kota dll. Perayaan tahun baru adalah pesta warisan kolonial.

Kebiasaan merayakan pergantian ini juga menjadi kebiasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan wujud berbeda tentunya. Saya memiliki data tentang perayaan tahun baru ala pemerintah kolonial ini, tepatnya di pergantian tahun 1925 di Bukit Tinggi. Dalam wujud yang berbeda, gaya perayaan tahun baru pemerintah kolonial ini menurut saya sangat unik. Bukan hanya pesta nan meriah ditandai dengan letupan kembang api, tetapi sebuah refleksi atas kerja dan dedikasi dan karya seseorang.

Bertepatan dengan 1 Januari 1925 pada hari Kamis, berkumpulah seluruh ambtenaar, kepala-kepala, penghulu-penghulu di kantor Assisten Resident, Fort de Kock yang akan merayakan tahun baru. Acaranya tidak jauh berbeda dengan acara pesta-pesta pada umumnya. Acara makan-makan dan perayaan puji-pujian. Sebelumnya pembesar-pembesar dalam golonganh Onderwijs dan Bineland Bestur menyerahkan bintang kepada mereka yang dianggap berjasa dan layak menerima penghargaan. Mereka adalah:

1.Engkoe Taib gelar Soetan Pamoentjak, Hoofdschoolopziener Voklsschool, di anoerahi bintang emas kecil. Sebagai tanda penghargaan dari toean Assistent Resident Agam dan s.p toean Inspecteur. Perlu dijelaskan tentunya bahwa beliau dianggap berjasa sela lebih 40 tahun lamanya menebarkan bibit ilmu pengetahuan, dari pengabdian mulia sebagai guru sekolah kl. II, guru Kweekschool Fort de Kock sampai pada mengemudikan Volksschool.

2.Engkoe A. Karim gelar Soetan Sjarif, Guru sekolah Osvia di Fort de Kock dianugrahi sebuah bintang perak besar. Sosok ini aktif dalam dunia pers, kelihaian pena-penanya dapat dibacai di koran-koran Melajoe.


3.Engkoe Moehd. Nazir Gelar Soetan Seripada, beliau adalah Jaksa Landraad di Ford de Kock dianugrahi bintang perak besar. Selain berjasa dalam bidang slidik menyelidik dan hukum, beliau juga ikut merintis sebuah sekolah HIS pertikelir, tempat ana-anak yang tidak diterima di HIS Goebernemen belajar.

4.Engkoe Chatib gelar Dt. Radja lelo, Kepla Malalak distrik Bukit Tinggi, dianugrahi Bintang Tembaga.
5.Hamzah gelar Dt. Batoeah, Kepala Negeri Kapau distrik Tilantang IV Angkat, dianugrahi Bintang Tembaga.
6.Soeit gelar Dt. Bandahara, Kepala Negeri Kota Melintang district Tilatang IV Angkat, dianugrahi Bintang Tembaga.
Ketiganya (No. 4,5&6) bukalah pegawai pemerintah, tetapi penghulu yang diangkat menurut adat atas kesepakatan masyarakat. Anugrah Bintang Tembaga diberikan karena jasa mereka dalam memegang dan menjalankan aturan adat.

7.Saidi gelar Soetan Menteri, seorang agen polisi yang sudah lama mengabdi dianugrahi bintang tembaga. (Disarikan dari berita Panji Poestaka 1926).

Cukup sekian, kepada para pembaca saya haturkan Selamat Tahun Baru.

::Selengkapnya::

Tuesday, December 23, 2008

Catatan Kecil: Marine Hindia


1 Desember 2008. Di museum Stovia niatnya sih mau rapat peringatan Haul Tirto. Yach apa mau dikata jadwalnya molor, memanfaatkan waktu luang saya berjalan berfoto sana-sini, miniatur kapal VOC menarik hati saya untuk berfoto di depannya.

Kapal VOC ini menginggatkan saya akan sekolah mariner tempo dulu. Saya pernah membacainya di Panji Poestaka. Pegawai Marine Hindia Belanda itoe ada bangsa Eropa ada poela bangsa Boemipoetra. Lalu bagaimana para Bumiputra ini bisa menjadi seorang mariner? bukankah kala itu hanya segelitir orang saja yang bisa bersekolah? Lalu seperti apa sekolah mariner tempo dulu?

Kweekschool voor inlandsche schepelinge/Kweekschool buat awak Bumiputra ada tak jauh dari Makasar. Di tepi laut anak-anak yang akan menjadi awak kapal mendapat pendidikan. Marilah kita berjalan-jalan melihat-lihat sekolah ini. Jika kita masuk ke pintu gerbang, sampailah dihalaman sekolah dan tampaklah enam buah kamar yang besar, tempat tidur murid-murid. Tempat tidur itu dilengkapi kelambu untuk menahan nyamuk. Di dekat tempat tidur disediakan almari, dan papan untuk menaruh sepatu. Di antara kamar tempat tidur ada kamar yang lebar, tempat makan murid-murid. Ritual makan pagi akan dilakuakn pukul 6 pagi, pukul 8.25 para murid akan mendapatkan makan yang kedua, dan pukul 12,05 makan siang. Pukul 4.30 para murid mendapat makan lagi. Jam makan yang cukup ketat bukan.

Disebelah kiri kamar makan kita lihat kamar gymnastiek dengan perkakasnya. Dibelakang kamar gymnastiek ada tempat buat mengeringkan pakaian. Berhadapan dengan ruang pengeringan, diseberang tanah lapang, adalah tujuh buah bilik tempat pengajaran Bahasa Belanda dan berhitung. Letak bilik-bilik pengajaran ini ditepi jalan raya. Dan para staf pengajarannya adalah para lulusan diploma.

Kalau kita berjalan antara tempat mengeringkan pakaian dan kamar gymnastic akan kita temui rumah pertukangan, tempat murid-murid stoker dapat pengajaran.

Di depan tempat pertukangan ada pelabuhan kecil. Disanalah perahu-perahu kepunyaan Kweekschool dapat berlabuh. Di pelabuhan itu disediakan sebuah cerocok yang menjulur ke laut.

Mari kita berjalan lagi, dari panatai kesebelah belakang kamar tempat tidur. Kita lihat beberapa bilik buat wc dan kamar mandi. Tampak juga kolam renang yang disediakan untuk murid-murid. Setelah itu kita sampai ke dapur, yang letaknya tak jauh dari ruang tempat kesehatan, kalau sekarang UKS (unit Kesehatan Sekolah).

Bumipoetra ini bisa menjadi awak mariner bukan lataran lahir dari keturunan bangsawan. Apabila memenuhi segala syarat seperti sehat badan, cukup usia dan memiliki kepandaian maka peluang untuk menjadi awak kapal Boemipoetra (Inlandsch Schepeling) pada Marine terbuka luas. Perekrutan para calon pelajar mariner ini dilakukan oleh Depertemen Marine di Betawai dan Marine Kerzerne Goebeng di Surabaya, atau Commandant van de Kweekschool voor Inlandsche Sehepelinge di Makassar atau lewat perantara amtenar besting Boemipoetra Assistent-Resident atau Resident kepala Afdeeling. Bagi Bumipotra yang berminat silahkan mendaftar??***

::Selengkapnya::

Sunday, October 19, 2008

TESTIMONI:LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU

Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang sarat gesekan itu. (Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah, cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta penerima Magsaysay Award 2008)

Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan;memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini merupakan salah satu buku yang sangat penting. (Dr. Anhar Gonggong,sejarawan)

Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada
kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya. Buku ini berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola
secara seksama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi, perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat.Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk rakyat tak ada. (Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)

Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari perspektif yang berbeda. Yaitu, dari perspektif yang lebih terbuka, lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap rakyat. Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan, rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan
memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah dibabat oleh segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri. Buku ini dapat menjadi pendorong untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat Indonesia. (Dr.Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian populis yang berbasis kerakyatan itu. (Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)

Ini adalah terbitan yang memiliki makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Terpimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambarannyang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia. (Prof Dr Adrian Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and Cultures)

Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah tentang "the true believers". (Taufik Rahzen, ziarawan, kuratorsenirupa, dan penggiat festival)

(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merekesumba, Jogjakarta
Terbit: Okt 2008, 581 halaman
Spesifikasi buku: 15 x 24 cm (tersedia softcover dan hardcover)
ISBN: 978-979-18475-0-6.
Harga (softcover): Rp 70.000; edisi hardcover dipesan ke 081-328690269

::Selengkapnya::